Bagi pegiat HR, memahami ketentuan terkait surat peringatan merupakan satu hal yang sangat penting.
Melansir laman Kumparan, surat peringatan atau SP adalah surat yang diberikan kepada karyawan apabila mereka melakukan pelanggaran terhadap aturan perusahaan.
Walaupun telah melakukan pelanggaran, perusahaan tidak dapat secara langsung melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) pada karyawan tersebut.
Sebagaimana yang disebutkan dalam Undang-Undang Cipta Kerja Pasal 151 Ayat 1:
“Pengusaha, pekerja/buruh, serikat pekerja/serikat buruh, dan pemerintah, dengan segala upaya harus mengusahakan agar jangan terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK).”
Melihat hal tersebut, hal pertama yang harus dilakukan perusahaan adalah membuatkan surat peringatan kepada karyawan yang bersangkutan.
Nah, meskipun demikian, kamu tidak bisa secara asal saat membuat surat peringatan. Tujuan serta konten di dalamnya harus disesuaikan dengan regulasi yang berlaku.
Agar lebih jelas, yuk, simak ketentuan lengkap mengenai surat peringatan dalam rangkuman GajiGesa di bawah ini!
Ketentuan Surat Peringatan Menurut UU
Sejatinya, ketentuan dan tujuan utama pembuatan SP adalah untuk memberi efek jera pada karyawan yang melakukan pelanggaran.
Tak hanya itu, pemberian dokumen tersebut juga sering digunakan sebagai contoh untuk karyawan lainnya agar tidak melakukan pelanggaran serupa.
Kendati demikian, ketentuan pemberian surat peringatan kepada karyawan harus tetap mengikuti aturan yang berlaku.
Aturan mengenai SP untuk karyawan tertulis dalam Undang-Undang Cipta Kerja Pasal 154A ayat (1) huruf k, berbunyi:
“k. pekerja/buruh melakukan pelanggaran ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama dan sebelumnya telah diberikan surat peringatan pertama, kedua, dan ketiga secara berturut-turut masing-masing berlaku untuk paling lama 6 (enam) bulan kecuali ditetapkan lain dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama;”
Secara garis besar, SP dibagi menjadi tiga, yakni SP pertama, kedua dan ketiga. Masing-masing berlaku selama enam bulan atau sesuai dengan perjanjian kerja.
Jika dalam kurun waktu enam bulan perilaku karyawan tersebut membaik, maka ia sudah terbebas dari SP pertama.
Namun, bisa masa SP pertama belum habis dan ia melakukan pelanggaran berbeda, perusahaan dapat memberikan SP kedua sampai SP ketiga.
Apabila karyawan tersebut melakukan pelanggaran kembali setelah ketentuan masa surat peringatan pertama habis, ia akan kembali diberikan SP pertama, bukan SP kedua.
PHK baru bisa dilakukan oleh perusahaan jika karyawan tidak menunjukkan perubahan ke arah yang lebih baik setelah diberikan SP ketiga.
Serupa dengan ketentuan terkait surat peringatan, ada aturan yang perlu diikuti perusahaan jika karyawan akhirnya kena PHK.
Contohnya, karyawan tersebut tetap berhak mendapatkan uang pesangon, seperti yang diatur dalam UU No.11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja Pasal 156 Ayat 1:
“Dalam hal terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK), pengusaha diwajibkan membayar uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja dan uang penggatian hak yang seharusnya diterima.”
Pemberian uang pesangon kepada karyawan yang terkena PHK diatur dalam UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja Pasal 156 Ayat 2:
- Masa kerja < 1 tahun : 1 bulan upah
- Masa kerja 1 tahun sampai < 2 tahun : 2 bulan upah
- Masa kerja 2 tahun sampai < 3 tahun : 3 bulan upah
- Masa kerja 3 tahun sampai < 4 tahun : 4 bulan upah
- Masa kerja 4 tahun sampai < 5 tahun : 5 bulan upah
- Masa kerja 5 tahun sampai < 6 tahun : 6 bulan upah
- Masa kerja 6 tahun sampai < 7 tahun : 7 bulan upah
- Masa kerja 7 tahun sampai < 8 tahun : 8 bulan upah
- Masa kerja > 8 tahun : 9 bulan upah
Demikian penjelasan mengenai ketentuan surat peringatan (SP) karyawan menurut Undang-Undang. Semoga membantu!