
Penghapusan batas usia maksimal dalam lowongan pekerjaan secara resmi diadopsi oleh pemerintah Indonesia sebagai upaya konkret untuk menghapus diskriminasi usia di dunia kerja.
Kebijakan ini disahkan melalui Surat Edaran Menteri Ketenagakerjaan Nomor M/6/HK.04/V/2025, yang mengimbau perusahaan untuk menghapus syarat usia maksimal dalam pengumuman lowongan kerja.
Regulasi dalam surat edaran tersebut berlaku pada semua lowongan, terkeculai pada posisi tertentu yang memang membutuhkan kemampuan fisik spesifik atau menyangkut keselamatan kerja.
Langkah ini dianggap sebagai kebijakan progresif yang merefleksikan tantangan nyata pasar tenaga kerja saat ini, di mana usia sering kali menjadi hambatan terbesar bagi para profesional berpengalaman yang ingin tetap produktif.
Penghapusan batas usia maksimal memang sudah lama dinantikan oleh masyarakat Indonesia. Namun, apa latar belakang pemerintah dalam mengambil keputusan ini? Lalu, apa dampaknya terhadap pasar kerja dalam negeri?
Yuk, ketahui lebih lanjut mengenai penghapusan batas usia di dunia kerja dalam artikel GajiGesa berikut ini!
Latar Belakang Terjadinya Penghapusan Batas Usia dalam Rekrutmen

Selama beberapa dekade terakhir, banyak pencari kerja usia 35 tahun ke atas yang merasa kesulitan untuk mendapatkan pekerjaan karena syarat usia maksimal di lowongan kerja.
Padahal, sebagian besar dari mereka memiliki pengalaman, loyalitas, kemampuan, serta etika kerja yang mumpuni.
Praktik ini pun hasilnya menyebabkan banyak perusahaan untuk kehilangan tenaga kerja yang seharusnya bisa aktif berkontribusi untuk perkembangan bisnis mereka.
Melihat kerugian seperti ini, Kementerian Ketenagakerjaan ingin menegaskan bahwa kompetensi, keterampilan, dan integritas seseorang jauh lebih penting dibanding usia mereka.
Sehingga, terbitlah kebijakan penghapusan batas usia maksimal pada lowongan kerja.
Kehadiran regulasi ini diharapkan mampu untuk menekan angka pengangguran pada usia dewasa dan membantu mereka yang terdampak pemutusan hubungan kerja (PHK), khususnya akibat perubahan iklim industri dan digitalisasi.
Kondisi Tenaga Kerja Indonesia 2025

Berdasarkan data resmi Badan Pusat Statistik (BPS) dan sumber terpercaya lainnya, berikut gambaran kondisi tenaga kerja nasional per Februari 2025:
Indikator | Jumlah/Tingkat |
Penduduk Usia Kerja | 216,8 juta |
Angkatan Kerja | 153 juta |
Pekerja Formal | 144,6 juta (naik 5 juta dari 2023) |
Pengangguran Terbuka | 7,28 juta (4,76%) |
Pertumbuhan Angkatan Kerja | +3,7 juta dibanding tahun sebelumnya |
Berdasarkan data dan indikator di atas, pertumbuhan pekerja formal menunjukkan kebutuhan tenaga kerja yang tinggi.
Namun, kelompok usia dewasa rentan terpinggirkan akibat syarat usia yang diberlakukan pada rekrutmen secara sempit.
Nah, indikasi inilah yang ikut mendorong pemerintah Indonesia untuk akhirnya mengambil sikap dalam membuat kebijakan penghapusan batas usia di lowongan kerja.
Ruang Lingkup Kebijakan dan Pengecualian

Meskipun surat edaran penghapusan batas usia bersifat imbauan, intinya cukup kuat untuk mendorong perusahaan agar tidak lagi menjadikan usia sebagai syarat mutlak dalam proses seleksi kerja.
Namun, pemerintah juga menyadari bahwa tidak semua pekerjaan dapat mengakomodasi semua usia.
Oleh karena itu, pengecualian tetap diberikan untuk jenis pekerjaan yang menuntut kondisi fisik prima, ketahanan tubuh tinggi, atau menyangkut keselamatan kerja.
Contohnya:
- Pilot dan awak kabin.
- Petugas keamanan.
- Operator alat berat.
- Pekerja di lingkungan ekstrem seperti tambang atau offshore.
Pengecualian ini wajib disertai justifikasi teknis agar tidak menjadi celah untuk diskriminasi terselubung.
Dampak Terhadap Pasar Tenaga Kerja Nasional

Pengesahan kebijakan penghapusan batas usia dalam lowongan pekerjaan diproyeksikan akan memberikan dampak besar terhadap struktur dan dinamika pasar tenaga kerja Indonesia.
Salah satu kelompok yang diprediksi bakal merasakan dampak positif adalah segmen pekerja usia 35–50 tahun, yang selama ini sering mengalami kesulitan dalam memperoleh pekerjaan baru akibat batasan usia maksimal yang diberlakukan oleh banyak perusahaan.
Di luar itu, dampak lainnya juga menanti angkatan kerja serta penyedia lapangan kerja Indonesia, termasuk:
1. Akses kerja yang lebih luas
Salah satu dampak paling nyata dari kebijakan ini adalah terbukanya kembali akses ke dunia kerja bagi kelompok usia dewasa.
Sebelumnya, banyak tenaga kerja yang tidak dapat melamar karena tak memenuhi kriteria usia maksimal. Padahal mereka memiliki kemampuan teknis, manajerial, dan kepemimpinan yang relevan untuk posisi yang lowong.
Dengan penghapusan batas usia, perusahaan tidak lagi membatasi proses seleksi hanya pada kandidat yang lebih muda.
Hal ini tidak hanya meningkatkan inklusivitas, tetapi juga memberi kesempatan kedua bagi pekerja yang sempat keluar dari dunia kerja karena PHK, pindah domisili, atau tanggung jawab keluarga.
Akses juga lebih tersedia bagi masyarakat yang tinggal di daerah-daerah dengan tingkat PHK tinggi atau sektor yang sedang lesu, seperti manufaktur, transportasi, dan tekstil, kebijakan ini bisa menjadi titik balik.
Selain itu, perubahan ini mendorong paradigma baru dalam manajemen SDM, di mana kualitas individu diukur dari kemampuan, nilai, dan produktivitas, bukan dari parameter biologis seperti usia.
2. Pemanfaatan tenaga kerja berpengalaman
Kelompok usia 40 tahun ke atas memiliki keunggulan dalam bentuk pengalaman praktis, etika kerja yang konsisten, dan stabilitas emosional.
Mereka cenderung memahami ritme kerja tim, mampu mengambil keputusan dalam tekanan, serta memiliki jaringan profesional yang luas.
Dengan kembalinya mereka ke dunia kerja secara lebih terbuka, perusahaan dapat mengurangi biaya pelatihan dasar, mempercepat adaptasi dalam tim, dan menciptakan lingkungan kerja yang lebih seimbang secara generasi.
Dalam banyak kasus, tenaga kerja berpengalaman juga memiliki peran penting sebagai mentor bagi karyawan muda.
Hal ini juga sejalan dengan tren global yang menunjukkan bahwa keragaman usia di tempat kerja (age diversity) dapat meningkatkan kreativitas, efektivitas kolaborasi, dan stabilitas organisasi dalam jangka panjang.
Pernyataan ini juga diperkuat oleh studi McKinsey (2024) yang menunjukkan bahwa perusahaan yang mengadopsi tenaga kerja lintas generasi cenderung memiliki tingkat retensi karyawan yang lebih tinggi serta ROI yang lebih baik dalam program pelatihan.
3. Stabilisasi pasca PHK dan akses kedua
Seiring meningkatnya PHK akibat otomatisasi, digitalisasi, dan restrukturisasi pasca-pandemi, banyak pekerja di usia 35–50 tahun terpaksa keluar dari dunia kerja.
Mereka umumnya menghadapi tantangan ganda yaitu kehilangan pekerjaan dan tidak memenuhi syarat usia untuk lowongan kerja baru.
Dengan kebijakan baru ini berfungsi sebagai jaring pengaman sosial yang memungkinkan kelompok tersebut untuk kembali masuk ke pasar kerja tanpa terbebani batas usia.
Sehingga, mereka memiliki peluang untuk mengembalikan penghasilan, mengurangi ketergantungan terhadap bantuan sosial, dan tetap menjaga produktivitas di usia dewasa.
Lebih jauh lagi, peluang kerja yang terbuka ini dapat berdampak langsung terhadap stabilitas ekonomi rumah tangga, terutama bagi keluarga yang hanya memiliki satu sumber pendapatan.
Dalam konteks ekonomi makro, peningkatan partisipasi tenaga kerja dewasa juga dapat berkontribusi terhadap peningkatan daya beli masyarakat, pertumbuhan sektor konsumsi, dan penguatan jaring ekonomi lokal.
Tantangan Implementasi Penghapusan Batas Usia

Meskipun penghapusan batas usia dalam lowongan kerja dinilai sebagai hal yang progresif, penerapannya sudah pasti tak mudah dan akan penuh dengan tantangan.
Baik dari segi aturan maupun kebiasaan di perusahaan, beberapa tantangan yang akan menanti penerapan kebijakan ini di antaranya yaitu:
1. Sifat imbauan, bukan regulasi hukum
Kebijakan yang dikeluarkan dalam bentuk surat edaran tersebut pada dasarnya hanya bersifat imbauan atau anjuran.
Dengan demikian, secara hukum tidak ada kewajiban bagi perusahaan untuk mematuhinya.
Perusahaan yang tetap mencantumkan batas usia maksimal dalam lowongan kerja tidak akan dikenai sanksi atau konsekuensi hukum yang mengikat.
Hal ini menjadi persoalan serius karena tanpa daya paksa hukum, kebijakan tersebut rawan diabaikan oleh pelaku usaha, terutama di sektor swasta.
Banyak perusahaan akan tetap memegang standar rekrutmen lama karena merasa tidak ada insentif ataupun penalti yang jelas.
Dalam praktiknya, ini membuat efektivitas kebijakan menjadi lemah dan implementasinya tidak seragam antar sektor atau wilayah.
Untuk itu, diperlukan upaya lebih lanjut dari pemerintah, seperti peningkatan status imbauan ini menjadi peraturan menteri, atau bahkan menjadi bagian dari revisi Undang-Undang Ketenagakerjaan.
Shingga, memiliki kekuatan hukum tetap dan memberikan kepastian bagi pencari kerja.
2. Pengawasan lemah dan tidak terstruktur
Tantangan kedua terletak pada aspek pengawasan dan pelaporan.
Saat ini, belum ada sistem nasional yang memungkinkan pencari kerja untuk melaporkan iklan lowongan yang memuat syarat batas usia diskriminatif secara cepat dan efektif.
Akibatnya, praktik diskriminasi usia tetap terjadi secara terbuka, terutama pada platform rekrutmen online dan iklan konvensional.
Selain itu, jumlah pengawas ketenagakerjaan yang tersedia masih sangat terbatas jika dibandingkan dengan jumlah perusahaan aktif di seluruh Indonesia.
Minimnya pengawasan ini menyebabkan banyak perusahaan bebas dari evaluasi terkait kesesuaian rekrutmen mereka dengan prinsip nondiskriminatif.
Untuk meningkatkan efektivitas kebijakan, pemerintah perlu:
- Mengembangkan portal pengaduan digital yang mudah diakses, agar pencari kerja dapat melaporkan pelanggaran syarat usia secara real time.
- Meningkatkan kapasitas dan jumlah tenaga pengawas ketenagakerjaan, khususnya yang bertugas memantau praktik rekrutmen online.
- Bekerja sama dengan platform rekrutmen populer, seperti Jobstreet, LinkedIn, atau Glints, untuk menyaring dan menandai lowongan yang masih mencantumkan syarat usia.
3. Budaya perusahaan yang belum siap bertransformasi
Di luar aspek hukum dan teknis, tantangan terbesar justru terletak pada budaya organisasi dan pola pikir manajemen perusahaan.
Banyak HRD atau rekruter masih beranggapan bahwa pekerja muda lebih gesit, cepat belajar, dan lebih fleksibel terhadap perubahan teknologi.
Akibatnya, usia sering kali dijadikan filter pertama dalam penyaringan CV, bahkan tanpa menimbang kompetensi sesungguhnya dari pelamar.
Selain itu, masih ada anggapan bahwa pekerja berusia lebih tua akan:
- Sulit beradaptasi dengan teknologi baru.
- Memiliki tuntutan gaji lebih tinggi.
- Kurang fleksibel dalam gaya kerja modern, seperti remote, hybrid, atau agile.
Pandangan semacam ini tidak selalu berdasar pada data atau pengalaman faktual.
Justru dalam banyak kasus, pekerja dewasa memiliki kemampuan soft skill yang lebih stabil, pengendalian emosi yang baik, dan komitmen kerja yang tinggi.
Maka dari itu, selain memperkuat regulasi, pemerintah dan asosiasi profesi juga perlu mengadakan kampanye edukasi dan pelatihan bagi para pengambil kebijakan SDM.
Tujuannya adalah untuk mendorong perusahaan agar lebih terbuka terhadap keberagaman usia di tempat kerja.
4. Keperluan untuk mendorong kemandirian finansial bagi semua usia
Dengan dibukanya kembali akses kerja bagi kelompok usia dewasa atau lanjut, perusahaan memiliki tanggung jawab lebih besar untuk memastikan kesejahteraan finansial seluruh karyawan tanpa memandang usia.
Banyak dari mereka yang baru kembali bekerja pasca PHK atau jeda karier, tentu membutuhkan fleksibilitas keuangan yang lebih baik untuk kembali menata hidup.
Nah, di sinilah peran Earned Wage Access (EWA) dari GajiGesa hadir sebagai solusi yang inklusif untuk memberikan akses gaji lebih fleksibel, tanpa perlu menunggu akhir bulan.
Dengan menyediakan EWA, perusahaan tak hanya meningkatkan loyalitas dan produktivitas karyawan, tapi juga berkontribusi dalam menciptakan lingkungan kerja yang lebih adil dan manusiawi.
Tanpa memandang usia, jabatan, atau lama kerja, semua karyawan, baik muda maupun senior, bisa merasakan manfaat yang sama: kendali atas penghasilan mereka sendiri.
Ha ini sejalan dengan semangat kebijakan baru pemerintah untuk mendorong partisipasi kerja yang lebih luas dan memperkuat kemandirian finansial seluruh tenaga kerja.
Bagaimana? Menarik, kan? Sudah saatnya buat kamu untuk jadikan kesejahteraan finansial sebagai bagian dari strategi SDM perusahaan.
Agar semua bisa berjalan lebih lancar, klik tombol di bawah untuk mempelajari bagaimana EWA GajiGesa dapat diintegrasikan ke dalam sistem perusahaan secara mudah dan aman!