Sekarang ini, quiet quitting adalah salah satu istilah dunia kerja yang sedang banyak diperbincangkan di dunia maya.
Tren ini pada dasarnya merupakan bentuk perlawanan terhadap hustle culture yang dianggap berbahaya bagi kesehatan mental maupun fisik pekerja.
Fenomena tersebut pun dianggap sangat melekat pada anak muda yang sedang berkutat di dunia profesional.
Ia menggambarkan kebiasaan di mana seseorang harus bekerja sesuai porsinya dan keluar dari konsep untuk mengejar promosi jabatan atau harapan akan digaji lebih.
Prinsip ini juga mendorong pekerja untuk tetap bekerja keras, tetapi, dengan tingkatan yang sesuai sambil mengutakaman work-life balance.
Dengan quiet quitting, pekerja diharapkan bisa meraih waktu lebih untuk menikmati momen bersama orang-orang terdekat dan meluangkan waktu untuk mengejar impian pribadi.
Namun, apa itu sebenarnya yang dimaksud dengan quiet quitting? Apa saja penyebab serta dampak yang bisa diberikan oleh prinsip kerja tersebut?
Untuk mengetahuinya lebih dalam, yuk, baca rangkuman singkat GajiGesa di bawah ini!
Apa Itu Quiet Quitting?
Menurut ujaran The Guardian, quiet quitting adalah sebutan untuk sebuah prinsip di mana pekerja bertugas sesuai porsinya.
Istilah ini menunjukkan kebiasaan kerja yang sesuai dengan jam serta alokasi kerjayang telah disetujui sejak awal rekrutmen.
Melihat maknanya, jelas bahwa quiet quitting berlawanan dengan hustle culture yang mendorong pekerja untuk lembur atau bekerja di luar job description utamanya.
Prinsip kerja ini bahkan mengemuka setelah munculnya banyak efek buruk dari pola kerja yang terlalu keras, seperti masalah pribadi dan sosial yang dialami oleh banyak pekerja.
Tujuan quiet quitting pun adalah untuk menciptakan work-life balance yang ideal, serta menerapkan batas antara kehidupan pribadi dan profesional.
Secara ideal, quiet quitting dapat memberikan kesempatan bagi pekerja untukmenikmati hidup di luar dunia kerja yang merupakan kewajibannya.
Prinsip ini nantinya bakal memperbaiki kualitas hidup pekerja, sehingga nilai kinerjanya di dunia profesional pun bisa meningkat dan ekosistem kantor juga bisa terasa lebih positif.
Penyebab Munculnya Quiet Quitting
Berdasarkan penjelasan laman Kompas, quiet quitting adalah sebuah fenomena yang disebabkan oleh perubahan pola pikir yang dialami pekerja muda selama pandemi Covid-19.
Hal tersebut berkaitan dengan adanya perubahan budaya tempat kerja dan sistem work from home (WFH) atau hybrid.
Banyak dari karyawan muda ini yang merasa bahwa mereka sudah bekerja keras selama pandemi. Akan tetapi, perusahaan tidak memberikan pengakuan dan kompensasi tambahan.
Minimnya apresiasi dan lingkungan kerja yang toxic ini dianggap sebagai salah satu faktor munculnya istilah quiet quitting.
Selain hal-hal tersebut, berikut adalah beberapa alasan lain yang menimbulkan prinsip kerja quiet quitting:
- Karyawan yang terlalu lelah karena beban kerja yang tak proporsional.
- Karyawan menjadi takut karena sewaktu-waktu bisa dilimpahkan pekerjaan tambahan.
- Banyak pegawai yang mulai bosan dengan pekerjaan yang terasa stagnan.
- Pekerja merasa kurang punya waktu luang untuk kehidupan pribadi.
- Karyawan menganggap bahwa jerih payahnya hanya menguntungkan perusahaan.
Dampak Quiet Quitting
Seperti yang sudah dijelaskan, quiet quitting adalah sebuah prinsip yang mengutamakan kesehatan mental pekerja.
Tren ini pun bisa menghadirkan dampak-dampak lainnya bagi pekerja maupun perusahaan tempat ia bekerja. Berikut pemaparannya.
1. Dampak positif quiet quitting
Sejatinya, tujuan utama dari quiet quitting adalah untuk mewujudkan work-life balance bagi pekerja.
Mereka yang menerapkan prinsip tidak akan terlalu larut dalam pekerjannya, sehingga bisa terhindar dari stres dan burnout.
Quiet quitting juga bisa membuat pekerja terhindar dari kecemasan dan depresi. Sebab, seperti yang kita ketahui, pekerja workaholic memiliki risiko lebih tinggi untuk mengalami gangguan mental dan fisik.
2. Dampak negatif quiet quitting
Meskipun bisa memberikan pengaruh positif, quiet quitting juga ternyata bisa hadirkan dampak negatif.
Fenomena tersebut bisa mengurangi produktivitas karyawan dan perusahaan tempat ia bekerja,
Hasilnya, psikolog organisasi Ben Granger ikut menjelaskan bahwa quite quitting bisa berdampak pada potensi PHK pada karyawan.
Untungnya, dampak buruk tersebut bisa ditanggulangi dengan mudah.
Sebagai contoh, pihak HR dan manajerial menerapkan budaya kerja yang fleksibel dan apresiatif.
Pekerja di kantor pun perlu diberikan daftar pekerjaan yang lebih sesuai. Apabila memang harus diberikan lebih banyak tugas, perusahaan harus menyediakan kompensasi.
Selain itu, pekerja yang melakukan quiet quitting sebaiknya berkomunikasi secara langsung dengan atasan mereka.
Jika merasa beban kerja terlalu banyak, keluhkan hal tersebut kepada supervisor dan segera minta solusi yang memadai.
Dengan demikian, perusahaan takkan melihat karyawan sebagai pekerja yang malas atau berpotensi menimbulkan masalah.
Nah, itulah penjelasan singkat GajiGesa mengenai serba-serbi quiet quitting, mulai dari definisi hingga dampak-dampaknya.
Intinya, quiet quitting adalah prinsip kerja di mana karyawan memilih untuk melaksanakan tugas sesuai porsinya.
Dengan menerapkan prinsip ini, risiko terjadinya masalah kesehatan mental atau fisik, akibat sibuk bekerja bisa dicegah. Produkvitas kerja karyawan pun bisa meningkat secara drastis.
Meskipun demikian, quiet qutting tetap bisa hadirkan efek negatif. Maka dari itu, perusahaan harus selalu memerhatikan kesejahteraan pekerjanya.
Karyawan pun perlu memiliki alur komunikasi yang baik dengan pihak HR dan atasan mereka agar tak terjadi kesalahpahaman.