Saat ini, hustle culture adalah salah satu istilah dalam dunia profesional yang sering diperbincangkan oleh para pekerja.
Bahkan, kultur ini tengah diterapkan oleh banyak perusahaan, khususnya di masa-masa rekrutmen pasca THR.
Sebagian profesional menganggapnya sebagai sesuatu yang positif, tetapi tak sedikit juga yang menentangnya.
Hal ini berlaku karena adanya pendapat bahwa hustle culture dapat menghadirkan dampak negatif untuk pekerja dalam jangka panjang.
Namun, apakah hal tersebut tepat? Memangnya, apa sih yang dimaksud dengan hustle culture? Yuk, simak penjelasan lengkapnya di bawah ini!
Apa Itu Hustle Culture?
Mengacu pada laman BFI, hustle culture adalah gaya hidup yang mendorong karyawan untuk terus bekerja dan hanya beristirahat sebentar.
Hal ini perlu dilakukan agar pekerja yang menjalankan budaya tersebut dapat membuat dirinya sukses dan makmur di masa-masa mendatang.
Bahkan, guna mencapai tujuan tersebut, budaya kerja ini secara tak langsung juga mendorong pekerja untuk bergerak lebih cepat secara agresif.
Sehingga, nantinya mereka bisa mengalahkan kompetitor dengan mudah, serta menerima imbalan atas semua jerih payahnya.
Karyawan yang mengikuti prinsip kerja hustle culture juga umumnya sangat perfeksionis. Mereka bakal memastikan bahwa pekerjaannya sudah diselesaikan dengan sempurna.
Melihat pola kerjanya, gaya hidup seperti ini sejatinya tidaklah sehat. Ia bisa memberikan dampak buruk bagi kesehatan mental maupun fisik pekerja.
Tak hanya itu, hubungan pekerja dengan rekan-rekannya di kantor juga bisa terganggu karena pengaruh sifat kompetitif yang kurang sehat.
Ciri-ciri Hustle Culture
Faktanya, karyawan yang menganut hustle culture sering kali tidak menyadari hal tersebut.
Mengapa demikian? Sebab, jika diterapkan secara rutin, budaya kerja ini secara tak langsung bakal tertanam di benak karyawan dan akan menjadi sebuah kebiasaan.
Nah, memangnya, seperti apa ciri-ciri dari budaya kerja hustle culture? Berikut adalah pemaparannya menurut laman Kompas:
- selalu memikirkan pekerjaan dan tidak punya waktu untuk bersantai
- sering merasa bersalah ketika mengambil waktu istirahat
- memiliki target kerja yang kurang realistis
- sering mengalami burnout atau kelelahan saat bekerja
- tidak pernah puas dengan hasil kerja
4 Penyebab Hustle Culture
1. Toxic positivity
Toxic positivity adalah konsep yang menyatakan bahwa tak peduli seberapa sulit situasimu, kamu harus tetap mempertahankan sikap positif.
Pada dasarnya, hal ini memang terdengar baik, akan tetapi konsepnya dapat membuat orang merasa terpaksa untuk selalu menekan emosi negatif mereka.
Padahal, penting bagi setiap orang untuk menerima emosi negatif agar lebih mudah untuk mengatasi masalah dengan bijak.
2. Kurang mengenal diri sendiri
Kamu dapat kebiasaan hustle culture ketika sudah mengenal diri sendiri dengan baik dan memiliki pemahaman tentang tujuan hidupmu ke depan.
Salah satu caranya adalah dengan mengetahui apa tujuan karier yang ingin dicapai.
Dengan demikian, kamu tidak akan mudah terjerumus dalam standar kesuksesan orang lain, terlebih lagi mengambil keputusan karier yang sebenarnya tidak sesuai dengan tujuanmu.
3. Perkembangan teknologi
Ternyata, kemajuan teknologi juga memperpanjang hustle culture ini.
Bagaimana tidak, saat ini ada banyak kesempatan kerja jarak jauh yang memudahkan orang untuk bekerja tanpa harus memikirkan perjalanan bolak-balik.
Semua proses komunikasi dapat dilakukan dengan sangat mudah hanya dengan menggunakan internet.
Kemudahan ini membuat orang-orang akhirnya merasa bahwa hustle culture adalah sesuatu yang dapat mereka lakukan, padahal sudah melampaui batas kemampuan mereka.
4. Standar sosial masyarakat
Masyarakat sering mengasumsikan bahwa semakin sibuk seseorang, semakin besar kesuksesannya.
Banyak yang masih mengukur kesuksesan berdasarkan jabatan, kekayaan, atau harta benda lainnya.
Ditambah lagi dengan target hidup yang tak realistis dan mungkin tidak sesuai bagi semua orang, seperti harus memiliki tabungan satu miliar pada usia 25 tahun, memiliki mobil pada usia 25 tahun, dan sebagainya.
Kondisi ini membuat orang merasa terpaksa untuk mengikuti standar sosial tersebut, karena takut dianggap tidak sukses jika tidak melakukannya.
3 Dampak Hustle Culture
1. Meningkatkan risiko penyakit
Berdasarkan penelitian Current Cardiology Reports pada tahun 2018 silam, orang yang bekerja lebih dari 50 jam per minggu berisiko mengalami penyakit kardiovaskular dan serebrovaskular yang lebih tinggi, seperti infark miokard atau serangan jantung dan penyakit jantung koroner yang mematikan.
Selain itu, lembur kerja juga berkontribusi pada resistensi insulin aritmia, hiperkoagulasi, dan iskemia antara yang sudah memiliki beban aterosklerotik tinggi, diabetes, hingga stroke.
2. Gangguan kesehatan mental
Dampak selanjutnya dari hustle culture adalah risiko gangguan pada kesehatan mental, seperti gejala depresi dan kecemasan (anxiety).
Hal tersebut berlaku karena pola kerja ini dapat membuat karyawan mengalami burnout dan memberikan efek negatif bagi kesehatan fisik mereka.
Burnout syndrome sendiri akan membuat karyawan merasa pesimis dengan hasil kerja mereka.
Sehingga, pekerja bisa merasa kurang memiliki motivasi dan energi untuk kembali bekerja, serta tidak mampu untuk kembali bersaing.
3. Susah mendapatkan work-life balance
Work-life balance adalah sebuah kondisi di mana kehidupan profesional dan pribadimu seimbang.
Nah, dengan menerapkan gaya hidup hustle culture, hal satu ini bakal susah untuk kamu dapatkan.
Pasalnya, kamu bakal terdorong untuk bekerja kerja tanpa mengambil waktu istirahat. Hasilnya,momen bersama keluarga sulit untuk diraih.
Stres yang muncul karena pekerjaan juga bisa membuatmu sakit. Sehingga, waktu luang akhirnya digunakan untuk pemulihan dan bukan bersantai.
3 Cara Menghadapi Hustle Culture
Melihat definisi serta dampaknya, jelas bahwa hustle culture adalah pola kerja yang kurang ramah terhadap kesehatan mental dan fisik pekerja.
Melihat hal tersebut, ada beberapa cara ampuh yang bisa kamu ikuti untuk menghadapi kultur kerja tersebut, baik sebagai pekerja maupun pegiat HR. Berikut adalah penjelasannya:
1. Merubah mindset tentang bekerja
Tidak bisa dipungkiri, bahwa sebagian besar orang mendedikasikan dirinya untuk bekerja dengan totalitas.
Padahal, ada banyak hal lain yang harus dijalani di luar kesibukan bekerja. Sebagai contoh, mengurus keluarga atau rumah tangga, berkumpul dengan teman, melakukan hobi, dan sebagainya.
Oleh sebab itu, cara pertama yang harus dilakukan untuk mengatasi hustle culture adalah dengan merubah mindset tentang bekerja.
Menurut GajiGesa sendiri, ada satu kutipan yang bisa kamu jadikan pedoman ketika sedang bertugas di kantor, yaitu:
Bekerjalah untuk hidup, bukan hidup untuk bekerja.
2. Mencari hobi di luar pekerjaan
Cara kedua adalah dengan mencari waktu luang untuk menjalani hobi dan segala yang dicintai. Tujuannya yaitu untuk membuat kehidupan personal dan kerja jadi semakin seimbang.
Setidaknya, jangan membuat semua waktu yang kamu miliki, hanya untuk bekerja. Ambillah waktu istirahat dan lakukan hobimu.
3. Memberikan batasan
Cara berikutnya yang bisa kamu ikuti adalah memberikan batasan yang jelas.
Untuk mengatasi pola kerja hustle culture, pegiat HR bisa memberikan batasan waktu kerja kepada karyawan di kantor.
Sebagai contoh, semua pesan dan email perihal pekerjaan hanya boleh dikirim hingga pukul 18:30. Atau, pada pukul 19:00, semua pekerjaan di kantor wajib dihentikan.
Tak hanya itu, pekerja sendiri harus mengenal diri dan batas ketika bekerja. Saat badan sudah letih, jangan memaksakan diri dan segera beristirahat.
4. Menyediakan ruang aman
Seperti yang sudah dijelaskan, banyak pekerja yang tidak mengetahui bahwa mereka menerapkan gaya hidup hustle culture.
Bahkan, beberapa dari mereka banyak yang sudah merasa letih, tetapi, tak ada ruang untuk berkeluh kesah.
Melihat hal tersebut, tak ada salahnya jika HR memberikan ruang khusus di mana karyawan dapat bercerita mengenai masalah yang ia hadapi.
Hanya dengan mendengarkan keluhan mereka, karyawan bisa merasa lebih nyaman dan terbebas dari tuntutan untuk bekerja ekstra keras.
Jika mereka membutuhkan bantuan lebih, bantulah sesuai kapasitasmu. Apabila yang mereka hadapi ternilai cukup berat, jangan ragu untuk rekomendasikan konsultasi profesional.
Nah, itulah serba-serbi hustle culture beserta cara-cara jitu untuk mengatasinya.
Intinya, gaya hidup ini mendorong karyawan untuk bekerja lebih keras guna mencapai kesuksesan dengan cepat.
Meskipun terdengar efektif, pola kerja tersebut dapat membahayakan kesehatan karyawan dan hubungan mereka bersama rekan-rekannya di kantor.
Maka dari itu, jangan ragu untuk ikuti tips-tips di atas untuk menghadapi gaya hidup ini. Ingat, kesehatanmu perlu dijadikan prioritas utama.
Hustle Culture dan Keseimbangan Kompensasi Kerja
Selain memerhatikan kesehatan, ada satu hal lain yang patut kamu pastikan, yaitu kompensasi kerja dari pihak perusahaan.
Ya, penerapan kultur perusahaan yang mendorong produktivitas tinggi haruslah seimbang dengan kompensasi yang dilimpahkan.
Selain sebagai bentuk apresiasi, kompensasi atau benefit ini juga diperlukan untuk menjaga kesejahteraanmu sebagai seorang karyawan, baik dari segi kesehatan fisik, psikis, maupun finansial.
Nah, kira-kira, seperti apa bentuk benefit terbaik yang dapat kamu ajukan ke perusahaan jika mereka ternyata hendak menerapkan hustle culture? Jawabannya tak lain adalah akses gaji fleksibel atau earned wage access GajiGesa.
Ya, sesuai namanya, layanan ini menyediakan akses bagi karyawan untuk menarik gaji mereka secara fleksibel atau lebih awal.
Sehingga, EWA bisa dijadikan alternatif ketika karyawan harus memenuhi kebutuhan mendadak di tengah bulan.
Tidak hanya itu, EWA juga bisa membantu dalam meningkatkan kesejahteraan finansial karyawan.
Mengapa demikian? Sebab, tujuan utama dari layanan ini adalah supaya mereka bisa mengambil gajinya dalam keadaan mendesak.
Alhasil, karyawan tidak akan lagi merasa stres tentang tagihan yang tertunda dengan manfaat kesehatan finansial karyawan ini.
Eits, bukan hanya itu. Akses gaji fleksibel GajiGesa juga bermanfaat untuk perusahaan.
Karena kesejahteraan karyawan sudah terjamin, mereka pun bakal lebih semangat untuk menunjukkan performa terbaiknya di kantor.
Loyalitas karyawan terhadap perusahaan pun jadi lebih terjamin. Alhasil, progres bisnis makin meningkat dan angka retensi perusahaan takkan tiba-tiba menurun.
Menarik bukan? Nah, layanan EWA kami hanya bisa digunakan jika perusahaanmu sudah bekerja sama dengan GajiGesa.
Maka dari itu, jangan sampai ketinggalan. Yuk, segera isi formulir di bawah artikel ini dan rekomendasikan perusahaanmu pada kami. Prioritaskan kesejahteraan karyawan dan bisnismu sekarang juga!